Jakarta-Cuaca hangat di utara Jakarta membawa aroma laut sekaligus keresahan para nelayan — naiknya permukaan air laut, menurunnya hasil tangkapan ikan, serta meningkatnya harga kebutuhan pokok — menggambarkan realitas yang saling bertolak belakang di Indonesia dan banyak negara Asia Tenggara lainnya.
Bahkan negara yang kaya sumber daya alam pun tidak luput dari dampak merusak perubahan iklim. Namun, di balik kerentanan tersebut tersimpan peluang besar. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, yang dapat dimaksimalkan melalui kerja sama regional pragmatis dan kemitraan strategis.
Potensi Besar Energi Terbarukan Indonesia
Indonesia memiliki sekitar 40 persen cadangan panas bumi dunia, serta potensi penyimpanan energi surya hingga 200 gigawatt berkat iklim tropis. Beberapa inisiatif sudah berjalan, seperti pembangkit listrik tenaga surya terapung Cirata (145 MW) dan proyek panel surya atap, sementara sungai-sungainya dapat menghasilkan lebih dari 75 GW tenaga air.
Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 31 persen pada 2050, serta emisi nol bersih pada 2060. Untuk mendukung hal ini, Indonesia mengalokasikan dana 20 miliar dolar AS melalui inisiatif Just Energy Transition Partnerships guna mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap.
Namun, tantangan besar masih menghadang. Energi terbarukan baru menyumbang sekitar 13 persen dari total energi, sementara batu bara masih mendominasi dengan 65 persen. Biaya eksplorasi panas bumi yang tinggi, regulasi yang rumit, serta keterbatasan pendanaan dan infrastruktur memperlambat percepatan energi hijau.
Peran ASEAN dalam Transisi Energi
Negara-negara Asia Tenggara mulai merapatkan barisan menghadapi tantangan serupa. Melalui tiga mekanisme utama, ASEAN berupaya mempercepat transisi energi:
• ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance – Mendorong investasi hijau dan mencegah praktik greenwashing.
• ASEAN Smart Energy Network – Meningkatkan infrastruktur dan mendukung perdagangan energi lintas negara.
• ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2026-2030 – Menetapkan target porsi energi terbarukan sebesar 35 persen dari total kapasitas energi regional.
Namun, tekanan ekonomi membuat negara seperti Indonesia dan Vietnam masih bergantung pada batu bara untuk mendorong pertumbuhan. Lemahnya jaringan listrik nasional, keterbatasan pembiayaan, serta perbedaan kebijakan antarnegara turut memperumit kerja sama.
Untuk mengatasi ini, ASEAN menerapkan pendekatan fleksibel berbasis “ASEAN wisdom” — strategi pragmatis yang mengutamakan kemajuan bertahap, misalnya lewat formula “ASEAN minus X” yang memungkinkan sebagian negara bergerak lebih dulu tanpa harus menunggu semua sepakat.
Peran BRICS dalam Mendukung ASEAN
Di sinilah BRICS berperan penting. Dengan kapasitas teknologi, finansial, serta pengetahuan kebijakan, BRICS dapat menjadi katalis bagi transisi hijau ASEAN:
• Jembatan pengalaman & inovasi – Melalui kerja sama riset bersama lembaga ASEAN untuk menekan biaya eksplorasi panas bumi, memperkuat ketahanan pesisir, dan menurunkan biaya penyimpanan energi.
• Investasi & teknologi hijau – Perusahaan Tiongkok dapat memperkuat transportasi publik ramah lingkungan di Indonesia, sementara keahlian Brasil di bioenergi dapat mendukung praktik berkelanjutan. Bank Pembangunan Baru BRICS juga dapat menyediakan pembiayaan hijau untuk proyek energi di kawasan.
• Konteks lokal – BRICS menekankan solusi hijau yang tidak seragam, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan unik tiap negara di Asia Tenggara.
Menuju Masa Depan Bersama
Transisi hijau hanya bisa berhasil jika pembangunan berkelanjutan berjalan seiring dengan penciptaan lapangan kerja, sehingga masyarakat tetap sejahtera. Untuk itu, negara-negara di kawasan harus bersatu membangun masa depan bersama yang berorientasi pada keberlanjutan dan kemakmuran.