Asia Tenggara Perlu Menjadi Pusat Manufaktur Energi Terbarukan
Kuala Lumpur, 17 September 2025 – Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Sepuluh negara anggota ASEAN telah berkomitmen untuk menekan emisi gas rumah kaca. Namun, implementasi komitmen tersebut masih belum optimal. Hal ini terlihat dari dominasi bahan bakar fosil dalam bauran energi negara-negara ASEAN, yang turut memperlambat transisi energi rendah karbon di tengah fluktuasi harga energi fosil yang terus berlanjut.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam forum Regional Dialogue: Realizing ASEAN’s Energy Future: Turning Vision into Action yang diselenggarakan oleh IESR bersama Stanley Centre for Peace and Security, Solar Energy Research Institute (SERI), dan JADE Dialogues, mengutip laporan International Renewable Energy Agency (IRENA). Laporan tersebut menyebutkan potensi energi terbarukan di Asia Tenggara mencapai 17.217 GW, dengan dominasi tenaga surya sebesar 15.592 GW. Meski demikian, pemanfaatannya masih jauh dari optimal.
“Transisi energi terbarukan terhambat oleh beberapa faktor, di antaranya kerangka kebijakan yang lemah, regulasi yang belum selaras, serta besarnya infrastruktur karbon yang telah ada,” jelas Fabby.
Melalui inisiatif Southeast Asia Energy Transition Initiative (SEAETI), IESR mendorong agenda transisi energi berkeadilan di tingkat regional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Inisiatif ini mencakup empat langkah utama, yaitu:
Dengan melaksanakan keempat rekomendasi tersebut, Asia Tenggara tidak hanya mampu membangun infrastruktur energi bersih, tetapi juga mengembangkan sumber daya manusia, sekaligus mendorong kawasan ini menjadi pusat manufaktur energi terbarukan di tingkat global.