Jakarta (22/08/2025)– Pemerintah bersama PT PLN (Persero) menegaskan kembali komitmen menghadirkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai solusi penyediaan energi nasional yang andal, bersih, dan terjangkau. Hal ini ditegaskan dalam Nusantara Energi Forum yang digelar di Jakarta, Rabu (20/8).
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P. Hutajulu, menyatakan bahwa energi nuklir dipandang penting sebagai penyeimbang dalam menjaga keandalan sistem kelistrikan Indonesia. Menurutnya, peluang pengembangan PLTN kian terbuka seiring kesiapan regulasi, penerimaan masyarakat, dan perkembangan teknologi.
“Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru yang sudah disetujui DPR, posisi nuklir ditempatkan sebagai penyeimbang bauran energi,” ujarnya. Jisman menambahkan, pembangunan PLTN tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Persiapan regulasi, pembentukan organisasi Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO), hingga pelibatan BUMN dinilai sebagai kunci agar proyek ini tetap berada dalam kendali negara.
Rencana pengembangan PLTN juga telah tercantum dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Dalam peta jalan tersebut, PLN menargetkan pembangunan dua unit PLTN dengan kapasitas masing-masing 2x250 MW. Direktur Teknologi, Enjiniring, dan Keberlanjutan PLN, Evy Haryadi, menilai PLTN sebagai jawaban atas tantangan energy trilemma—yakni ketersediaan energi yang andal, ramah lingkungan, dan terjangkau. “PLTN mampu menghasilkan listrik stabil seperti pembangkit batubara, tetapi dengan biaya lebih efisien dan emisi minim. Karena itu, PLTN memenuhi semua aspek trilema energi,” kata Evy.
Sebelum memasukkan PLTN ke dalam RUPTL 2025–2034, PLN telah melakukan kajian bersama sejumlah negara yang berpengalaman dalam pengelolaan energi nuklir. “Kami menggandeng berbagai pihak, mulai dari kementerian, perguruan tinggi, hingga penyedia teknologi untuk membangun kolaborasi yang kuat,” tambahnya. Dukungan terhadap rencana ini juga datang dari Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Syaiful Bakhri. Ia menegaskan bahwa pengelolaan limbah nuklir relatif lebih mudah dibandingkan pengelolaan sampah perkotaan. “Mengelola limbah nuklir jauh lebih sederhana daripada mengelola sampah di Bantar Gebang. Satu PLTN beroperasi 40 tahun, dan luas penyimpanan limbahnya hanya sebesar satu ruangan,” jelasnya. Menurutnya, bahan bakar nuklir bekas juga tidak sepenuhnya terbuang. Hanya sekitar 5 persen yang benar-benar habis dipakai dalam reaksi fisi, sementara 95% sisanya masih bisa didaur ulang untuk digunakan kembali di reaktor lain.
“Artinya, kita punya peluang besar untuk mandiri secara energi. Bahkan sisa material 5 persen itu masih bisa dimanfaatkan di bidang kesehatan, industri, hingga pengolahan pangan,” ungkapnya.
Dengan kesiapan regulasi, kolaborasi lintas sektor, serta potensi daur ulang bahan bakar, pembangunan PLTN di Indonesia dipandang sebagai langkah strategis menuju kemandirian energi sekaligus mendukung agenda transisi menuju energi bersih.