Loading...
Detail Berita

Pertamina Inisiasi Penggunaan Avtur Campuran Minyak Jelantah Pada Penerbangan Komersial

JAKARTA – PT Pertamina (Persero) melalui subholding-nya, PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), resmi memulai sejarah baru dalam dunia penerbangan Indonesia dengan menginisiasi pemanfaatan bahan bakar pesawat (avtur) yang dicampur minyak jelantah atau used cooking oil (UCO). Produk bernama Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) ini kini mulai digunakan pada penerbangan komersial. Pesawat Pelita Air dengan rute Jakarta – Bali – Jakarta menjadi yang pertama menggunakan avtur yang dicampur 2,5% minyak jelantah produksi KPI. Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menjelaskan bahwa Pertamina SAF dihasilkan melalui proses co-processing minyak jelantah di fasilitas pengolahan RU IV Cilacap. “Produk ini sudah memenuhi standar kualitas internasional dan telah mengantongi seluruh sertifikat yang dibutuhkan untuk layak terbang,” ujar Simon saat peresmian penerbangan SAF di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (20/8). Pertamina SAF telah memperoleh Proof of Sustainability dari ISCC CORSIA, yang membuktikan bahwa rantai pasoknya memenuhi standar keberlanjutan dan diaudit oleh lembaga internasional. Proses produksi menggunakan teknologi Co-Processing UCO dengan Katalis Merah Putih, hasil formulasi dan produksi dalam negeri.

Produk ini juga sudah memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan DefStan 91-091. Dengan capaian tersebut, Pertamina SAF menjadi produk SAF pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang memiliki sertifikasi resmi. Produksi Pertamina SAF didukung penuh oleh Pertamina Group melalui pembentukan ekosistem SAF yang melibatkan lintas perusahaan, yakni KPI, Pertamina Patra Niaga, dan Pelita Air Services. Sekjen Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menegaskan bahwa pengembangan bioavtur merupakan bagian dari prioritas hilirisasi pemerintah. “Teknologi yang dikembangkan Pertamina termasuk paling maju di dunia. Dengan potensi bahan baku yang melimpah, bukan mustahil Indonesia bisa menjadi pusat pasokan SAF internasional,” kata Dadan.


Deputi Bidang Koordinasi Konektivitas Kementerian Infrastruktur dan Pengembangan Regional, Odo R.M. Manuhutu, juga menekankan pentingnya kerja sama tingkat ASEAN untuk pengembangan SAF. “Indonesia harus bisa menjadi pemain utama dan memimpin ekosistem SAF di kawasan regional. Saat ini riset belum ada di ASEAN, sehingga kerangka kerja sama perlu segera dibangun,” ujarnya. Odo menambahkan, dengan posisi strategis saat ini, Indonesia berpeluang besar untuk menjadi penentu harga SAF. “Harapannya, Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, tapi juga menjadi pemain utama di ASEAN. Dalam RPJMN, kepemimpinan Indonesia di tingkat internasional menjadi indikator penting. Karena itu, minimal 1% dari pendapatan sebaiknya dialokasikan untuk riset,” jelasnya.